Seseorang yang dikatakan mandiri bisa dilihat dari kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya dengan usaha yang dilakukan tanpa mengandalkan orang lain. Sebuah kemandirian mengharuskan seseorang membayar harga untuk mencapainya, bukan hanya harga dalam bentuk materi, tetapi harga dalam bentuk non-materi pun harus terbayar.
Harga berbentuk non-materi merupakan syarat utama untuk dapat mencapai sebuah kemandirian. Tenaga, waktu, fikiran, serta motivasi yang tinggi merupakan beberapa komponen harga yang harus dibayarkan untuk mencapai kemandirian. Kemandirian dalam hal ini tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan sendiri dengan usaha sendiri, tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan orang lain dengan usaha yang kita lakukan.
Salah satu kemandirian yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan juga kebutuhan orang lain adalah entrepreneur. Namun pada kenyataannya masyarakat Indonesia tidak banyak yang memiliki sifat entrepreneur. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah pendaftar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberitakan oleh Liputan 6 SCTV yaitu 2.603.780 orang. Lebih dari dua juta orang ingin menjadi pegawai dengan asumsi bahwa menjadi pegawai terutama pegawai negeri sipil akan mendapatkan keamananan finansial. Tidak perlu repot memikirkan bagaimana mencari uang, uang akan datang setiap bulan secara rutin.
Pola fikir seperti inilah yang membuat Indonesia juga menjadi tidak bisa mandiri, bagaimana bisa mandiri jika mayotitas masyarakatnya hanya mengandalkan uluran tangan dari pemerintah melalui lowongan pekerjaan yang sedang dibuka dan akan dibuka.
Pola fikir mayoritas masyarakat Indonesia harus dirubah dari pencari menjadi penyedia. Ketika ini sudah berhasil, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia bisa mandiri dan memiliki masyarakat yang sejahtera.
Oleh karena itu penanaman jiwa entrepreneur harus dilakukan sejak dini. Melalui entrepreneur akan tercipta sebuah karya-karya luar biasa yang dapat menciptakan sebuah kemandirian. Kemandirian hidup, kemandirian ekonomi, serta kemandirian Negara dalam cakupan yang lebih luas.
Menanggapi persoalan ini, pemerintah sudah mulai mengatasi dengan kurikulum 2013 yang memasukkan mata pelajaran kewirausahaan dijenjang SMA. Menurut Raja Sapta Oktohari yang merupakan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), hal ini merupakan hal baik karena jiwa-jiwa muda Indonesia sudah dijejali untuk mengetahui pentingnya finansial, serta pentingnya memanajemen keuangan.
Selain upaya dari pemerintah, perlu upaya dari orang tua serta elemen masyarakat untuk menanamkan jiwa entrepreneur sejak dini. Lingkungan yang bernafas entrepreneur akan memberikan kontribusi besar terhadap lahir dan tumbuhnya jiwa-jiwa entrepreneur.
Kesulitan akan selalu ditemui dalam menjadi entrepreneur, karena merupakan salah satu harga yang harus dibayarkan untuk dapat menjadi entrepreneur dan menjadi mandiri. Kesulitan tersebut harus dilawan dengan motivasi-motivasi untuk menjadi seorang entrepreneur. Mengutip kata-kata Albert Einstein “winners never quit, quitters never win”. Ketika dalam tahap mencapai entrepreneur mendapat hambatan-hambatan, lawan selalu hambatan tersebut dengan semangat yang tinggi.
Menumbuhkan semangat entrepreneur juga perlu dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang notabene adalah agent of change, agen of social control, iron stock. Sebagai mahasiswa, selalu mendapat tuntutan untuk mandiri merupakan hal yang wajar, terutama kemandirian dalam belajar.
Namun selain kemandirian dalam belajar, mahasiswa dituntut untuk dapat mandiri dalam kehidupan nyata, baik sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki jiwa entrepreneur untuk mendapat kemandirian tersebut.
Kesibukan dengan tugas perkuliahan menjadi salah satu alasan mahasiswa melupakan tugasnya untuk dapat mandiri secara sosial maupun ekonomi. Kesibukan tersebut merupakan sebuah alasan yang sebenarnya tidak dapat diterima, karena disela kesibukan selalu ada waktu untuk beristirahat. Manajemen waktu perlu ditekankan dalam hal ini. Ada istilah dari kalangan entrepreneur yaitu “Time is money”. Jadi, pergunakanlah waktu dengan efektif dan efesien serta produktif.
Harga berbentuk non-materi merupakan syarat utama untuk dapat mencapai sebuah kemandirian. Tenaga, waktu, fikiran, serta motivasi yang tinggi merupakan beberapa komponen harga yang harus dibayarkan untuk mencapai kemandirian. Kemandirian dalam hal ini tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan sendiri dengan usaha sendiri, tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan orang lain dengan usaha yang kita lakukan.
Salah satu kemandirian yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan juga kebutuhan orang lain adalah entrepreneur. Namun pada kenyataannya masyarakat Indonesia tidak banyak yang memiliki sifat entrepreneur. Hal ini terbukti dari banyaknya jumlah pendaftar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberitakan oleh Liputan 6 SCTV yaitu 2.603.780 orang. Lebih dari dua juta orang ingin menjadi pegawai dengan asumsi bahwa menjadi pegawai terutama pegawai negeri sipil akan mendapatkan keamananan finansial. Tidak perlu repot memikirkan bagaimana mencari uang, uang akan datang setiap bulan secara rutin.
Pola fikir seperti inilah yang membuat Indonesia juga menjadi tidak bisa mandiri, bagaimana bisa mandiri jika mayotitas masyarakatnya hanya mengandalkan uluran tangan dari pemerintah melalui lowongan pekerjaan yang sedang dibuka dan akan dibuka.
Pola fikir mayoritas masyarakat Indonesia harus dirubah dari pencari menjadi penyedia. Ketika ini sudah berhasil, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia bisa mandiri dan memiliki masyarakat yang sejahtera.
Oleh karena itu penanaman jiwa entrepreneur harus dilakukan sejak dini. Melalui entrepreneur akan tercipta sebuah karya-karya luar biasa yang dapat menciptakan sebuah kemandirian. Kemandirian hidup, kemandirian ekonomi, serta kemandirian Negara dalam cakupan yang lebih luas.
Menanggapi persoalan ini, pemerintah sudah mulai mengatasi dengan kurikulum 2013 yang memasukkan mata pelajaran kewirausahaan dijenjang SMA. Menurut Raja Sapta Oktohari yang merupakan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), hal ini merupakan hal baik karena jiwa-jiwa muda Indonesia sudah dijejali untuk mengetahui pentingnya finansial, serta pentingnya memanajemen keuangan.
Selain upaya dari pemerintah, perlu upaya dari orang tua serta elemen masyarakat untuk menanamkan jiwa entrepreneur sejak dini. Lingkungan yang bernafas entrepreneur akan memberikan kontribusi besar terhadap lahir dan tumbuhnya jiwa-jiwa entrepreneur.
Kesulitan akan selalu ditemui dalam menjadi entrepreneur, karena merupakan salah satu harga yang harus dibayarkan untuk dapat menjadi entrepreneur dan menjadi mandiri. Kesulitan tersebut harus dilawan dengan motivasi-motivasi untuk menjadi seorang entrepreneur. Mengutip kata-kata Albert Einstein “winners never quit, quitters never win”. Ketika dalam tahap mencapai entrepreneur mendapat hambatan-hambatan, lawan selalu hambatan tersebut dengan semangat yang tinggi.
Menumbuhkan semangat entrepreneur juga perlu dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang notabene adalah agent of change, agen of social control, iron stock. Sebagai mahasiswa, selalu mendapat tuntutan untuk mandiri merupakan hal yang wajar, terutama kemandirian dalam belajar.
Namun selain kemandirian dalam belajar, mahasiswa dituntut untuk dapat mandiri dalam kehidupan nyata, baik sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki jiwa entrepreneur untuk mendapat kemandirian tersebut.
Kesibukan dengan tugas perkuliahan menjadi salah satu alasan mahasiswa melupakan tugasnya untuk dapat mandiri secara sosial maupun ekonomi. Kesibukan tersebut merupakan sebuah alasan yang sebenarnya tidak dapat diterima, karena disela kesibukan selalu ada waktu untuk beristirahat. Manajemen waktu perlu ditekankan dalam hal ini. Ada istilah dari kalangan entrepreneur yaitu “Time is money”. Jadi, pergunakanlah waktu dengan efektif dan efesien serta produktif.