Kamis, 26 Juni 2014

Pragmatisme Masyarakat Pada Pemilu

Dinamika politik sangat terasa ketika memasuki tahun 2014, yang merupakan tahun politik. Begitu banyak problematika yang ada mewarnai tahun politik ini, yang digadang – gadang sebagai momentum pergantian kepemimpinan. Mulai dari anggota legislatif dan juga eksekutif.

Salah satu problemaika mendasar pada setiap pemilihan umum adalah sifat mayoritas masyarakat yang pragmatis (David Satria Jaya:2014).
Pragmatis merupakan sebuah sifat yang menginginkan timbal balik secara langsung atau praktis. Realnya dalam pemilu 2014 ini banyak masyarakat yang menginginkan timbal balik berupa materi dari calon – calon yang akan maju sebagai wakil rakyat, baik legislatif maupun eksekutif.

Ada beberapa faktor yang membuat masyarakat menjadi pragmatis terhadap pemilu, antara lain yang pertama adalah masalah tingkat pendidikan yang rendah..
Pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyaraat menjadi pragmatis. Pola fikir masyarakat tergantung pada tingkat pendidikan masyarakat, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.
Masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih bisa berfikir analitis dalam jangka panjang, sedangkan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah pola fikirnya lebih dalam jangka pendek. Hal ini terbukti dari sifat masyarakat berpendidikan rendah yang lebih menginginkan sesuatu dalam segi kepraktisan. Sehingga ketika ada momentum pemilu, masyarakat berpendidikan rendah cenderung memilih calon yang memberikan sesuatu dalam bentuk langsung dan nyata.

Kedua masalah keadaan ekonomi, yang notabene  merupakan salah satu faktor baik atau tidaknya sebuah kehidupan, meskipun bukan merupakan faktor mutlak. Ekonomi yang kuat berimplikasi pada kehidupan yang serba ada tanpa kekurangan, yang dalam hal ini adalah harta benda. Apabila ekonomi lemah, maka akan cenderung mengalami berbagai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik. Hal ini banyak dimanfaatkan oleh para calon wakil rakyat untuk membeli suara dari masyarakat yang berkeadaan ekonomi rendah. Dengan memberi beberapa puluh ribu rupiah kepada satu suara, calon wakil rakyat mengharap mendapat kesempatan besar untuk duduk dikursi parlementer.

Selanjutnya, masyarakat menjadi pragmatis lantaran karena wakil rakyat yang sudah duduk dikursi parlemen tidak dapat dipercaya, tidak dapat menjadi jembatan bagi keinginan – keinginan rakyat.
Masyarakat mengatakan bahwa memilih wakil rakyat satu dengan wakil rakyat lainnya tidak ada perbedaan, keadaan ekonomi tetap rendah. Sejarah kepemimpinan para wakil rakyat yang tidak bisa mewakili keinginan – keinginan rakyat menjadikan rakyat tidak percaya dengan calon – calon wakil rakyat yang akan maju pada periode berikutnya.
Seakan – akan menjadi tradisi, keadaan ini selalu dimanfaatkan untuk memperoleh suara sebanyak – banyaknya. Pemilih lebih suka diberi uang ataupun barang lainnya dari pada harus menjadi pemilih yang amanah, dengan asumsi bahwa keadaan akan tetap sama siapapun yang memimpin.

Sebuah perpolitikan yang tidak  stabil juga menjadi salah satu penyebab masyarakat menjadi pragmatis. “Hari ini mengatakan tidak, esok hari mengatakan iya”. Sebuah kata – kata yang dapat menggambarkan perpolitikan di Indonesia. Kesan buruk akan masuk kedalam fikiran rakyat manakala seorang calon wakil rakyat tidak konsisten dengan kata – katanya. Masalah yang timbu lantaran wakil rakyat tidak konsisten akan berimplikasi terhadap tingkah laku pemilih dalam menentukan pilihan. Ketika semua wakil rakyat tidak konsisten dengan perkataannya, rakyat pemilih akan menjadi apatis terhadap pemilu, apabila ingin memilih maka masyarakat akan menjadi pragmatis. Memilih calon yang member sesuatu yang langsung.

Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu adanya pendidikan politik terhadap masyarakat yang sudah mempunyai hak pilih. Pendidikan politik yang dimaksudkan bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa merekalah agen – agen politik, yang jika tanpa mereka maka tidak akan jalan politik yang demokratis. Untuk itu masyarakat harus berperan aktif menjalankan dan mengawal pemilu dengan bersih.

Tidak hanya dari kalangan masyarakat, partai politik pun harus selektif dalam melakukan perekrutan. Tidak hanya siapa yang member uang, merekalah yang masuk. Partai politik saat ini juga cenderung pragmatis dalam melakukan pengkaderan, sehingga yang lahir juga kader – kader pragmatis tanpa adanya pengkaderan diinternal partai politik itu sendiri.

10 komentar:

Thanks for comment